Blogger news

"Tujuan pendidikan yaitu menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat" ~ Ki Hajar Dewantara

Tidak Naik Kelas Ditiadakan dalam Kurikulum Merdeka ?


Tidak Naik Kelas Ditiadakan dalam Kurikulum Merdeka ?



Terkait dengan Tidak Naik Kelas Ditiadakan dalam Kurikulum Merdeka ?, Perlukah, pindah sekolah saat anak tidak naik kelas, ciri-ciri siswa tidak naik kelas, peraturan tidak naik kelas, kriteria kenaikan kelas, asesmen formatif dan sumatif, Asesmen adalah, Kenaikan kelas adalah, apa kriteria untuk naik kelas ?, apa yang akan terjadi jika tidak naik kelas ?, apakah nilai dibawah KKM bisa naik kelas

Sehingga momen kenaikan kelas menjadi sesuatu keharuan tersendiri dalam perjalanan kehidupan peserta didik.

Tahun ajaran 2022-2023 Kurikulum Merdeka sudah berjalan dengan berbagai perubahan perubahan yang terjadi, salah satunya adalah Kenaikan Kelas Peserta didik.

Perubahan paradigma pendidikan menjadi dasar perubahan kebijakan pada kenaikan kelas, sehingga muncul pertanyaan apakah Kriteria kenaikan kelas masih relevan ? apakah siswa otomatis naik kelas diakhir tahun ajaran ? apakah otomatis pula tidak akan ada siswa yang tidak naik kelas ?

Dalam prakteknya Kenaikan kelas pada K-13 dan setelah program BOS menggelinding yang menekankan nilai DO sekolah yang nihil, ditambah dengan target Indeks partisipasi pendidikan yang tidak boleh turun dan harus terus naik menjadi beban satuan pendidikan dan pertanggungjawaban satuan pendidikan ke pemerintah daerah.

sehingga praktis siswa bagaimanapun masalahnya, biasanya sekolah mengambil jalan aman dengan tetap menaikan peserta didik kejenjang yang lebih tinggi, namun setelah naik kelas tidak ada perlakuan yang diberikan dan pengawasan yang berkelanjutan.

Hal inilah yang menjadi kenyataan selama ini, ada kriteria kenaikan kelas namun satuan pendidikan tidak menerapkan atau bahkan melabrak aturan yang dibuatnya sendiri dalam KTSP nya,  untuk menghindari evaluasi oleh dinas terkait. 

Apakah Tidak Naik Kelas ditiadakan dalam Kurikulum Merdeka ? 

Pada dasarnya satuan pendidikan memiliki keleluasaan untuk menentukan kriteria kenaikan kelas. Penentuan kenaikan kelas  dilakukan dengan mempertimbangkan laporan kemajuan belajar yang mencerminkan pencapaian peserta didik pada semua mata pelajaran dan ekstrakurikuler serta prestasi lain selama 1 (satu) tahun ajaran. 

Untuk menilai pencapaian hasil belajar peserta didik sebagai dasar penentuan kenaikan kelas dapat berdasarkan penilaian formatif dan sumatif. Penilaian pencapaian hasil belajar peserta didik untuk kenaikan kelas dilakukan dengan membandingkan pencapaian hasil belajar peserta didik dengan kriteria ketercapaian tujuan pembelajaran. 

Pembelajaran terdiferensiasi sesuai tahap capaian peserta didik menjadi salah satu praktik yang dianjurkan dalam Kurikulum Merdeka. 

Penggunaan fase dalam Capaian Pembelajaran adalah salah satu alasan mengapa peserta didik dapat terus naik kelas bersama teman-teman sebayanya meskipun ia dinilai belum sepenuhnya mencapai kompetensi yang ditetapkan dalam Capaian Pembelajaran di fase sebelumnya atau tujuan pembelajaran yang ditargetkan untuk dicapai pada kelas tersebut. 

Ilustrasi berikut diharapkan dapat menjelaskan bagaimana proses belajar dalam suatu fase dan lintas fase dapat berjalan seiring dengan kenaikan kelas.

Ilustrasi 1: 

Kenaikan kelas dalam fase yang sama. Pendidik menyusun alur tujuan pembelajaran dalam satu fase secara kolaboratif. Sebagai contoh, guru Kelas III perlu berkolaborasi dengan guru Kelas IV dalam menyepakati alur tujuan pembelajaran yang akan digunakan. 

Mereka kemudian menyepakati tujuan-tujuan pembelajaran mana yang perlu dicapai di Kelas III, dan tujuan pembelajaran mana yang akan dipelajari di Kelas IV. Ketika ada peserta didik yang tidak dapat mencapai tujuan pembelajaran tertentu hingga akhir tahun ajaran di Kelas III, maka guru kelas III perlu menyampaikan hal tersebut kepada guru Kelas IV agar pembelajaran di kelas IV tersebut dapat menyesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. 

Selain itu, pada awal tahun ajaran guru pun dianjurkan untuk melakukan asesmen di awal pembelajaran untuk mengidentifikasi kesiapan peserta didik. Dengan demikian, peserta didik tadi dapat terus naik kelas, tidak perlu tinggal kelas di Kelas III

Ilustrasi 2: 

kenaikan kelas antara dua fase yang berbeda. Contoh lain adalah kenaikan kelas dari Kelas IV (Fase B)  ke Kelas V (Fase C). 

Apabila terdapat peserta didik yang belum mencapai kompetensi yang ditetapkan dalam Fase B, hal ini perlu diidentifikasi oleh guru Kelas V sejak awal tahun ajaran. Informasi tentang tahap capaian peserta didik ini perlu dikomunikasikan oleh guru Kelas IV, dan juga diidentifikasi melalui asesmen di awal pembelajaran Kelas V. 

Untuk peserta didik yang belum menuntaskan Fase B, pendidik dapat mengulang konsep atau materi pelajaran yang belum dikuasai peserta didik sebelum peserta didik tersebut mempelajari materi yang terkandung dalam Capaian Pembelajaran Fase C. Dengan demikian, peserta didik dapat terus naik kelas. 

Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa satuan pendidikan tidak perlu menentukan kriteria dan mekanisme kenaikan kelas. 

Kenaikan kelas dilaksanakan secara otomatis (automatic promotion). Pembelajaran dilaksanakan menggunakan prinsip mastery learning yang sangat sesuai dengan pembelajaran berdiferensiasi atau pembelajaran sesuai tahap capaian (teaching at the right level). 

Setiap peserta didik mempelajari tujuan pembelajaran yang sama dalam setiap pertemuan, namun bagi peserta didik yang tidak dapat mencapai kriteria ketercapaian tujuan pembelajaran perlu ditindaklanjuti dengan memberikan perlakukan khusus agar dapat mencapainya. 

Dengan kata lain, tindakan untuk peserta didik yang berisiko tidak seharusnya menunggu hingga tahun ajaran, tetapi perlu segera diberikan. mungkin hal inilah yang selama ini "luput diperhatikan" para pendidik.

Lalu bagaimana teknisnya bagi siswa yang belum mencapai Tujuan Pembelajaran ?

Dalam proses penentuan peserta didik tidak naik kelas, perlu dilakukan musyawarah dan pertimbangan yang matang sehingga opsi tidak naik kelas menjadi pilihan paling akhir apabila seluruh pertimbangan dan perlakuan telah dilaksanakan.  

Banyak penelitian menunjukkan bahwa tinggal kelas tidak memberikan manfaat signifikan untuk peserta didik, bahkan cenderung memberikan dampak buruk 

Dalam proses penentuan peserta didik tidak naik kelas, perlu dilakukan musyawarah dan pertimbangan yang matang sehingga opsi tidak naik kelas menjadi pilihan paling akhir apabila seluruh pertimbangan dan perlakuan telah dilaksanakan.    Banyak penelitian menunjukkan bahwa tinggal kelas tidak memberikan manfaat signifikan untuk peserta didik, bahkan cenderung memberikan dampak buruk terhadap persepsi diri peserta didik (Jacobs & Mantiri, 2022; OECD, 2020; Powell, 2010). Di berbagai negara, kebijakan tinggal kelas secara empiris tidak meningkatkan prestasi akademik peserta didik, terutama yang mengalami kesulitan belajar.

terhadap persepsi diri peserta didik (Jacobs & Mantiri, 2022; OECD, 2020; Powell, 2010). Di berbagai negara, kebijakan tinggal kelas secara empiris tidak meningkatkan prestasi akademik peserta didik, terutama yang mengalami kesulitan belajar. 

Dalam survei PISA 2018, skor capaian kognitif peserta didik yang pernah tinggal kelas secara statistik lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak pernah tinggal kelas (OECD, 2021). 

Hal ini menunjukkan bahwa mengulang pelajaran yang sama selama satu tahun tidak membuat peserta didik memiliki kemampuan akademik yang setara dengan teman-temannya, melainkan tetap lebih rendah. 

Hal ini dimungkinkan karena yang dibutuhkan oleh peserta didik tersebut adalah pendekatan atau strategi belajar yang berbeda, bantuan belajar yang lebih intensif, waktu yang sedikit lebih panjang, namun bukan mengulang seluruh pelajaran selama setahun. 

Dalam hal terjadi kasus luar biasa, jika terdapat banyak mata pelajaran yang tidak tercapai oleh peserta didik dan/atau terkait isu sikap dan karakter peserta didik, maka satuan pendidikan dapat menetapkan mekanisme untuk menetapkan peserta didik tidak naik kelas. 

Namun demikian, keputusan ini sebaiknya dipertimbangkan dengan sangat hati-hati mengingat dampaknya terhadap kondisi psikologis peserta didik. Selain itu, tinggal kelas juga memberatkan secara ekonomi. 

Hasil tes PISA 2018 menunjukkan bahwa di berbagai negara, mayoritas siswa yang pernah tidak naik kelas adalah siswa dari keluarga kelas menengah ke bawah (OECD, 2020). Ketika mereka tinggal kelas, biaya untuk mengulang satu tahun belajar memberatkan keluarga sehingga mereka semakin rentan putus sekolah. 

Dengan demikian, kebijakan tidak naik kelas adalah kebijakan yang tidak efisien. Peserta didik harus mengulang semua mata pelajaran untuk jangka waktu satu tahun penuh, padahal mungkin bukan itu yang menjadi kebutuhan belajar mereka. 

Sehingga apabila terdapat tujuan pembelajaran pada mata pelajaran tertentu yang tidak tercapai sampai saatnya kenaikan kelas, maka pada rapor peserta didik tersebut dituangkan nilai aktual yang dicapai dan dideskripsikan bahwa peserta didik tersebut masih memiliki tujuan pembelajaran yang perlu ditindaklanjuti di kelas berikutnya.

Berikut ini adalah contoh-contoh isu yang biasanya menjadi faktor pendorong keputusan tidak naik kelas, serta alternatif solusi yang lebih sesuai dengan perkembangan dan kesejahteraan (well-being)  peserta didik.

Contoh Isu 




Demikian Sobat GNO Tidak Naik kelas Ditiadakan dalam Kurikulum Merdeka ?, tulisan diatas merupakan rangkuman dari Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kemdikbudristek dengan sedikit polesan. 

Saran dan Pendapat silahkan tulis dikolom komentar!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar